h1

Dosa Primordial & Tradisi Otokritik

August 7, 2008

Oleh: Muhamad Sahrul Murajjab

Dalam prilaku sehari-hari, kita seringkali “kerepotan” untuk menjadi orang yang rendah hati. Menundukkan kepala terasa begitu sulit. Perasaan ingin dilebihkan orang lain atau merasa lebih dari orang lain, tidak jarang menggelitik. Untuk betul-betul bertawadlu‘ adalah pekerjaan yang teramat berat. Betapa tidak ! meski terkadang ungkapan-ungkapan verbal kerendah hatian keluar dari mulut, namun itu tak lebih dari lip service yang sering dibarengi bisikan nafsu keinginan dipuji sebagai orang yang tawadlu.

Demikian juga, tidak kalah sulit bagi kita untuk sesekali menyempatkan -seandainya tidak bisa secara terus menerus- merenungi diri, melakukan refleksi, menyadari noda-noda dalam jiwa atau mengakui keserba kekurangan dan kekeliruan. Namun sebaliknya, kita terlalu suka membicarakan aib orang, bersemangat mencari-cari “ketidak beresan” orang lain atau cepat-cepat memberikan penilaian negatif atas kekhilafan seorang kawan. Akar kesombongan, arogansi, sok suci, terlalu bangga terhadap diri sendiri (ujub) dan keengganan melakukan muhasabah, otokritik atau interospeksi seakan tumbuh subur dalam hati. Kitapun lalai akan pesan Ilahi dalam firman-Nya : “Maka janganlah kamu merasa dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa ” (QS. 53 : 32). Begitu pula lupa dari wanti-wanti Rasulullah, “Keberuntunganlah bagi orang yang disibukkan oleh aibnya sendiri dari (mencari-cari) aib orang lain” (HR. al-Bazzar, oleh Al-Hafidz Ibn Hajar dikatakan sanadnya hasan. Akan tetapi pendapat ini menuai kritik cukup tajam dari ahli hadits lainnya. Al-Albani menyebutnya sebagai hadits dlaif/dlaif jiddan)

Jika kita membuka kitab suci dan menelaahnya dari awal, maka kisah pertama yang disuguhkan Al-Qur’an adalah sebuah fragmen dari “tragedi” yang terjadi atas Nabi Adam. Tragedi itu bermula dari tindak pembangkangan Iblis terhadap titah Allah kepada penghuni surga (para malaikat) untuk bersujud kepada Adam. Pembangkangan Iblis yang “abaa wa istakbara” ini jika dirunut ternyata berakar dari arogansi, peremehan pihak lain atau “perasaan lebih “, seperti terekam dalam surat Shaad (QS. 38 : 76) dengan slogannya yang sangat terkenal, “Ana khairun minhu”. Terlebih persepsi Iblis ini dibangun diatas asumsi-asumsi materiil dari zat asal penciptaan Adam dan Iblis sendiri. Itulah kesombongan (takabbur), dosa primordial yang telah menghancurkan nasib Iblis sehingga menjadi tetap mal’un sampai hari Qiamat (QS. 38 : 78) dan selanjutnya menjadi preseden buruk dalam prilaku umat manusia.

Penempatan kisah pembangkangan Iblis diawal-awal urutan mushaf dan kemudian terulang dibeberapa tempat dalam Al-Qur’an, tentu saja memiliki signifikasi tersendiri. Setidaknya adanya signifikasi (dalalah) kepada sebuah warning terhadap bahaya segala elemen-elemen kesombongan dalam perilaku kita sehari-hari. Sebaliknya kita perlu meneladani posisi Nabi Adam setelah terjadinya kesalahan, yang akhirnya menjadi pintu kebaikan bagi dirinya, yaitu kemauan melakukan otokritik (naqdu-dzatiy), pengakuan terhadap sebuah kesalahan dan mengembalikannya kepada diri sendiri tanpa mencari kambing hitam, sebagaimana pengakuan itu diabadikan dalam al-Qur’an : “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni diri kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk dari orang-orang yang merugi”. (QS. 7:23). Tradisi otokritik ini juga diwarisi Nabi Musa ketika bersalah membunuh seseorang(QS.28:16). Juga Nabi Yunus ketika pergi dengan marah dan ahirnya ditelan ikan(QS. 21:87).

Dan tentu saja kita bisa meneladani tradisi otokritik para Nabi ini jika kita mau tahu diri, mengembangkan sifat husnudh-dzan (positive thinking), menghargai orang lain dan setiap kali kita membaca istighfar, kita mesti menghayati maknanya dan meresapi betul falsafah istighfar itu sendiri. Nah!!!

Leave a comment